Hoemar Tjokrodiatmo dan Avian Dewanto |
Dua belas tahun tinggal di Jerman tak membuat Humar berbeda. Bahkan setelah ia pun berkeliling dunia bekerja di berbagai perusahaan di Eropa dan Amerika Serikat. Ia jalani itu berbekal ilmu arsitektur yang dipelajari selama menjadi mahasiswa di ITB dan Universitas Berlin. Humar adalah salah satu putra Indonesia terbaik yang mendapat bea siswa untuk menjadi doktor di Jerman pada tahun 70-an serombongan dengan Presiden BJ Habibie.
Apanya yang tak berubah? Humornya itu loh. Ini salah satunya.
Di Berlin ada sebuah sungai yang melintas di tengah kota. Sewaktu musim panas, banyak warga Jerman yang hanya memakai bikini dan sebagian di antaranya bahkan bertelanjang - tak memakai apa pun di badannya- menceburkan diri ke sungai itu.
"Saya suka sekali menonton atraksi ini," cerita Humar. Begitu juga para pendatang dari luar Jerman, dari Turki dan lainnya. Mereka berjajar di pinggir sungai. Meski tak ada kursi di sana, namun hampir semua lelaki yang menonton atraksi ini tak ada yang berdiri.
"Saya juga ikutan jongkok," cerita Humar. Tanpa ditanya alasan berjongkok, Humar pun melanjutkan ceritanya, "soalnya kalau menonton sambil berdiri kan ketahuan."
"Ketahuan gimana?" balasku, "wong, tempatnya terbuka bergitu?"
"Ketahuan kalau celana mengembang semuanya," jelas Humar.
Aku pun punya cerita lainnya.
"Kalau pernah ke Klungkung, Bali, di sana ada sungai yang airnya jernih banget. Lokasinya eksotik banget. Kalau dari pinggir jalan raya, yang mau ke sana, jalan kaki menuruni lereng sekitar 100 meteran."
Di sungai itu, banyak sekali yang mandi baik lelaki maupun perempuan. Umumnya memang penduduk di situ. Namun ada juga orang luar desa itu. Tentu saja, yang macam ini tak mungkin saya lewatkan. "Eh, ternyata sama saja ya," jelasku, "nontonnya memang gak bisa berdiri. Harus jongkok."
"Tuh kan," balas Humar.
"Tapi, setelah lima menit jongkok, saya gak tahan," kataku.
"Lantas?" Tanya Humar.
"Ya, ikutan nyeburlah," jelasku," sapa tau aja kan?"
Maka kami pun sepanjang menunggui pameran tertawa bersama. Memang indah sebuah persahabatan yang dibangun dari sebuah ketulusan. Dan, tentunya kami tak sekadar bertukar humor. Kami sungguh saling belajar -terutama saya. Belajar kepada seseorang yang sudah hidup lebih dulu di dunia ini.
Ada yang mau belajar nonton perempuan atau lelaki mandi? Wew.
.